Sabdo Palon

Peninggalan budaya pada Jaman Majapahit di Nusantara
sekarang ini dapat dilihat situsnya di Mojokerto. Di
sana ada Situs Majapahit tetapi karena bahan bakunya
dari batu bata, maka tidak bisa bertahan lama, kini
tampak telah aus dimakan waktu/keropos, runtuh.
Berbeda dengan peninggalan Candi-candi Majapahit yang
lain di mana bahannya terbuat dari batu andesit,
hingga kini masih utuh. Yang menarik untukdiperhatikan dan dipelajari adalah bagaimana Agama
Buddha yang demikian besar di Jaman Majapahit akhirnya
mengalami kemunduran hingga lenyap tidak dikenal sama
sekali, yang tersisa tinggal berupa kepingan-kepingan
sejarah.

Hal yang patut dicatat bahwa suatu agama akan
berkembang menjadi besar bila didukung oleh beberapa
syarat, sekurang-kurangnya ada lima, yaitu:
Kalau menjadi agama negara; sehingga kegiatan
keagamaan maju pesat karena sepenuhnya didukung oleh
raja. Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan lain-lain,
dibangun karena sepenuhnya didukung oleh raja.

Ditangani oleh kaum profesional agama (ulama); artinya
sebagai ahli pelaku agama (ulama), waktu sepenuhnya
tercurah, berpikir, berucap, dan bertindak untuk
kemajuan agamanya.

Tingkat kemakmuran masyarakat mendukung;

Tingkat kerelaan umat; jika dari kemakmuran dan
kerelaan cukup, pengadaan sarana dan prasarana demi
kegiatan pengembangan keagamaan semua dengan mudah
terwujud.

Tingkat keimanan umat cukup mantap; artinya tidak
mudah terpengaruh atau pindah agama

Agama Buddha pada Jaman Majapahit menjadi besar karena
lima hal tersebut di atas terpenuhi. Raja, pejabat
tinggi negara, dan rakyatnya menganut cara berpikir
Buddhis, beragama Buddha. Akan tetapi ketika yang
terjadi sebaliknya, petinggi-petinggi negara beralih
agama, para profesional (ulama) agama menyimpang dari
haluannya, tingkat kesejahteraan rakyat tidak
mendukung, keimanan goyah, maka lambat laun agama akan
ditinggalkan. Begitu pula Agama Buddha pada jaman
pasca Majapahit menjadi merosot tajam, lenyap hilang.
Agama Buddha di Indonesia sekarang dalam kondisi baik
dan aman, karena sah dan dilindungi undang-undang,
akan tetapi karena belum ditangani oleh kaum
profesional (ulama) sepenuhnya, maka masih
tersendat-sendat, sering ngadat. Selama ini
lembaga-lembaga, organisasi agama masih ditangani oleh
pemimpin-pemimpin yang belum sepenuhnya profesional
agama, sehingga perhatian dan pencurahan energi, serta
pemikirannya masih harus dibagi dua dengan tanggung
jawab kebutuhan keluarga atau profesi lain yang
menjadi kendala.

Hal lain yang menjadi sebab Agama Buddha menurun
adalah Raja ke-5 pada Jaman Majapahit yaitu Raja
Brawijaya V mempunyai anak laki-laki hasil
pernikahannya dengan Putri Campa (China), di mana
sejak kecil anak tersebut yang diberi nama Raden Babah
Patah dididik oleh Raja Ariyodamar di Palembang,
Sumatera, yang telah beragama lain. Jadi Raden Patah
diajar agama lain bukan Agama Buddha yang telah dianut
di negeri itu, sampai Raden Patah menjadi besar dan
kembali ke negeri Tanah Jawa di Kerajaan Majapahit.
Oleh Brawijaya diterima dan diberikan wilayah
kekuasaan untuk dibuka menjadi kerajaan baru. Tempat
tersebut oleh Raden Patah dibangun bersama dengan
guru-guru spiritualnya yakni para wali, jadilah
Kerajaan Demak Bintoro, di Jawa Tengah. Akhirnya demi
kepentingan tertentu guru-guru spiritualnya mendesak
Raden Patah sebagai Raja Demak Bintoro, untuk segera
mereformasi Majapahit berganti agama baru. Meskipun
berkali-kali Raden Patah menunda-nunda permintaan
gurunya, akan tetapi karena didesak dan didesak terus,
akhirnya Raden Patah menurut juga. Oleh karena
Brawijaya tidak mendidik Raden Patah untuk mempelajari
Agama Buddha, akibatnya Raden Patah tidak menganut
Agama Buddha, malah bermaksud mengganti agama yang
dianut Brawijaya, orangtuanya.
Sampai suatu ketika Majapahit didatangi PANSUS tentara
dari Demak, untuk tujuan mereformasi Majapahit. Prabu
Brawijaya sebagai orangtua tentu berpikir panjang,
apakah dia harus berperang berhadapan dengan anak,
sedangkan sebagai orangtua rela kurang makan minum,
kurang tidur, asal anak bahagia orangtua sudah cukup
puas. Maka meskipun negeri kerajaan dalam keadaan
didesak bahaya, daripada perang dengan anak, Prabu
Brawijaya memilih pergi meninggalkan kerajaan; lewat
pintu belakang beliau meninggalkan Kerajaan Majapahit
menuju Blambangan. Jadi Kerajaan Majapahit ketika itu
bukan diambil alih dengan peperangan atau perundingan,
tetapi tepatnya ditinggal pergi oleh rajanya. Raja
Demak berhasil mengambil alih istana Kerajaan
Majapahit, tetapi misinya dianggap belum sukses karena
Prabu Brawijaya belum pindah agama baru. Akhirnya
diputuskan untuk mengirim Raden Sahid Sunan Kalijaga
menyusul Prabu Brawijaya ke Blambangan, di ujung timur
Pulau Jawa. Tujuannya membujuk dan merayu, serta
memohon agar Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit dan
berganti agama. Pembicaraan ini berlangsung
berhari-hari sampai akhirnya Prabu Brawijaya
menyanggupi untuk kembali ke Majapahit. Tetapi beliau
mengatakan bahwa: "Saya mau kembali ke Majapahit bukan
untuk kekuasaan sebagai Raja Majapahit, tetapi demi
anak." Sudah jelas dikudeta, tetapi Prabu Brawijaya
tetap tidak pupus rasa sayang pada anaknya. Walaupun
demikian misi para wali guru spiritual Raden Patah
belum tercapai, maka berhari-hari terus diadakan
dialog. Karena alotnya sampai suatu ketika dialog
diambil alih oleh kedua penasehat spiritual Prabu
Brawijaya yaitu Sabdopalon dan Noyoginggong (nama yang
sudah diistilahkan, yang dimaksud adalah bhikkhu).
Akhirnya Sabdopalon, Noyoginggong, dan Sunan Kalijaga
berdebat seru mengadu ilmu dan kesaktian.

Di mana untuk membuktikan misi baru ini hebat, Raden
Said mengambil air untuk mencuci muka, begitu
tersentuh tangan, air tersebut berubah menjadi berbau
wangi. Untuk menandai kejadian ajaib ini, maka di
tempat itu diberi nama Banyuwangi. Akhirnya disepakati
rombongan meninggalkan Blambangan menuju Majapahit.
Dalam perjalanan ke Majapahit rombongan berhenti di
suatu tempat peristirahatan (villa). Di tempat itu
diteruskan lagi diskusi yang belum usai. Sabdopalon
dan Noyoginggong menerima keajaiban air wangi tidak
tinggal diam, tetapi ingin menguji air wangi tersebut
sampai kapan bertahan. Air wangi yang dibawa dalam
bumbung (tabung) dari Blambangan, oleh Sabdopalon dan
Noyoginggong dibuka tutupnya, ternyata air yang semula
berbau wangi itu sekarang berubah menjadi berbau basin
(busuk) dan banger. Prabu Brawijaya berkata: "Saya
sudah tua, semuanya demi anak. Permintaan saya,
meskipun Majapahit sudah berganti pemerintahan tetapi
jangan sampai dinodai tetesan darah. Saya sanggup
berganti agama tetapi saya mempunyai permintaan, kalau
saya meninggal jangan ditulis di sini makam Brawijaya,
cukup diberi tanda 'di sini peristirahatan si putra
bulan [trowulan]." Begitu Prabu Brawijaya memberi
disposisi, kedua penasehat spiritualnya berkata:
"Brawijaya, saya tidak akan mengikuti perjalananmu
lagi, saya akan tidur saja, dan saya tidak akan bangun
sebelum Agama Buddha kembali. Dan ingatlah keharuman
air wangi nanti akan bertahan selama 500 tahun dan 4
jaman." Usai berkata demikian Sabdopalon dan
Noyoginggong "moksa" (menghilang). Mendengar kata-kata
itu Brawijaya menangis tetapi semuanya sudah
terlambat. Untuk memberi saksi harumnya air wangi
menjadi berbau basin dan banger, tempat itu diberi
nama Jember. Dihitung-hitung perjalanan dari
Banyuwangi sampai Jember selama 4 hari dan 5 malam.
Artinya keharuman itu nanti bertahan selama 500 tahun
dan 4 jaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kota Majapahit di Trowulan

Bahasa Jawa : Sekilas Asal-Usul Bentuk Kromo-Ngoko

Taliwangke dan Samparwangke