MENGINTIP NASIB LEWAT PAWUKON
Dibandingkan dengan zodiac Barat dan Cap Ji Shio dari budaya Cina, horoskop versi Jawa ini memang tidak begitu dikenal. Padahal dalam membidik gambaran fisik, watak, dan naas seseorang, Pawukon justru lebih jitu dan akurat. Bahkan mampu memproyeksikan “nasib” seseorang di senja hidupnya dengan perlambang watak hari kelahiran orang tersebut.
Percaya atau tidak, perhitungan hari saat dilakukan pemilihan presiden keempat RI pada Rabu Pon, 20 Oktober 1999, menyisakan firasat buruk bagi bangsa Indonesia. Itu menurut penglihatan dan perhitungan mata hati pakar Pawukon, KRHT Suhadi Darmodipuro, yang juga kepala Museum Radyapustaka, Surakarta. Seperti diketahui pemilihan presiden RI dilakukan siang hari.
“Dalam perhitungan Jawa, Rabu malam itu sudah termasuk Kamis Wage, hari yang baik. Wataknya aras kembang, tunggak semi. Dengan watak aras kembang, artinya siapa pun yang terpilih akan memperoleh simpati dari banyak orang. Demikian pula tunggak semi, meski selalu mendapat kritik atau dilecehkan, tetap akan bertunas dan dengan ketokohannya akan membuahkan hasil baik bagi negara dan bangsa," demikian ujar Darmodipuro.
Kenyataannya, pemilihan dilakukan pada Rabu siang sebelum pukul 18.00 WIB. Hari itu jatuh pada Wuku Watugunung. Dalam hitungan Jawa, memiliki watak lakuning rembulan, bumi kapetak. Meski watak yang pertama itu baik, watak yang kedua yakni bumi kapetak justru mengubur semua kebaikannya. “Jadi siapa saja yang terpilih menjadi presiden, kendati memiliki niat dan usaha keras untuk membangun serta menyejahterakan bangsa ini, akan kesilep atau tidak dihargai, karena selalu mendapat celaan," tambah Darmodipuro.
Lewat Pawukon perjalanan nasib seseorang juga bisa dibaca dengan jelas. Contohnya, nasib mantan Presiden Soeharto yang dilahirkan Rabu Kliwon, 8 Juni 1921. Sesuai hari kelahirannya wuku Pak Harto adalah Maktal. Gambaran wuku tersebut terjemahan bebasnya begini: Dewanya Bathara Sakri, setia dalam janji, teguh pendiriannya. Lambang kayunya Negari, tampan wajahnya, bicaranya selalu harum. Burungnya ayam hutan, wataknya cerdik. Gedungnya megah dan berumbul-umbul, artinya pangkat dan kekayaan datang secara bersamaan. Gambaran dirinya bak harimau lapar, kalem tapi waspada, perasaannya gampang kecewa. Naas dirinya karena berkelahi/perseteruan.
Watak hari kelahirannya yang Rabu Kliwon adalah Lakuning Srengenge, Lebu katiyup angin. Tamsil itu menggambarkan hidupnya yang semula ibarat matahari sebagai pemimpin yang menjadi panutan banyak orang, namun pada akhir nasibnya justru seperti debu yang tertiup angin. Meski pada akhirnya kebenaran semua itu tergantung pada kehendak Yang Maha Kuasa.
Lebih komplet dan akurat
Pawukon adalah ilmu tentang wuku yang bersifat baku berdasarkan buku babon yang ada. Tak berbeda dengan metoda hitungan astrologi pada umumnya, wuku ini membagi hari kelahiran seseorang berdasarkan tanggal dan tahun kelahiran. Hanya saja pawukon mendasarkan perhitungannya menurut kalender Jawa. Wuku dalam bahasa Jawa kuno artinya pekan atau seminggu. 1 wuku artinya 7 hari.
Karya Pawukon bisa disejajarkan dengan zodiak Barat maupun Cina yang sudah dikenal luas. Cap Ji Shio terbagi atas 12 macam shio dengan pergantian tiap tahun. Satu periode shio diawali dari tahun pertama yaitu Tahun Tikus yang kemudian berakhir pada tahun keduabelas yakni Tahun Babi. Sedangkan horoskop Barat terbagi atas 12 bintang, pergantiannya tiap bulan, diawali dengan bintang Capricornus dan diakhiri oleh Sagitarius.
Sementara itu Pawukon terbagi atas 30 macam wuku yang pergantiannya berlaku setiap minggu. Perhitungannya mulai dari hari Minggu sampai dengan Sabtu. Satu periode Pawukon diawali pada minggu pertama setiap tahun dengan Wuku Shinta, yang kemudian diakhiri pada minggu ketigapuluh dengan Wuku Watugunung. Urutan dari ke-30 wuku tersebut adalah; Shinta, Landhep, Wukir, Kurantil, Tala, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasia, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Mrakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, Watugunung.
Setiap wuku memayungi kelahiran (manusia) dalam waktu satu pekan atau tujuh hari. Perhitungan harinya pun disesuaikan dengan pasaran (pon, wage, kliwon, legi, pahing).
Dibandingkan dengan horoskop versi lain, Pawukon memiliki kelebihan. Selain memberi gambaran secara umum untuk mengetahui kondisi fisik, karakter, atau watak seseorang, setiap wuku juga mampu menemukan jenis naas (pengapesan) atau pantangan yang harus dihindari serta proyeksi “nasib” seseorang di masa datang.
Misalnya seseorang yang memiliki Wuku Kurantil pantangannya adalah penekan, yakni kegiatan yang sifatnya panjat-memanjat. Sedangkan mereka yang berwuku Gumbreg naasnya karena air, Keblabag ing Banyu. Sesuai usia wuku, masa berlaku pantangan ini pun hanya seminggu. Artinya, selama waktu itu orang yang bersangkutan sebaiknya menghindari hal-hal yang menjadi pantangannya.
Apakah pengapesan ini bisa menjadi kenyataan? Seorang Bung Karno yang berwuku Wayang ternyata pengapesannya Sebab Kena ing Paeka (cinidra), yakni dikhianati atau diperdaya. Lintasan sejarah hidup Proklamator ini secara jelas telah memberikan jawabannya.
Penggambaran keadaan fisik, karakter, serta sifat-sifat orang dalam setiap wuku disajikan lewat simbol seperti dewa, manuk (burung), gedung, panji-panji, pohon atau kayu. Sementara naas atau pengapesan seseorang selalu disertakan dalam perlambang sambekala. Namun tidak seperti icon sederhana yang menandai masing-masing zodiak Barat atau shio Cina, ketigapuluh wuku dalam Pawukon digambarkan secara filosofis dengan ilustrasi menarik, artistik, dan mendetil sesuai ulasan yang terdapat di setiap wukunya.
Darmodipuro yakin tingkat akurasi Pawukon dalam membaca watak dan mengungkap nasib bisa mencapai 70% mendekati kebenaran.
“Sebagian besar klien yang datang ke sini mengaku apa yang tersurat dalam wukunya banyak yang cocok.” Ada juga satu dua orang mengatakan uraian dalam wukunya itu tidak sesuai. Meskipun begitu, menurut Darmodipuro, reaksi penolakan spontan itu terkesan lebih sebagai perwujudan mekanisme self-defence yang ada dalam diri setiap manusia, ketika sifat-sifat buruknya terungkap.
Masih berkaitan dengan Pawukon, Darmodipuro mengatakan bahwa dalam setiap bulan hampir selalu ada yang disebut hari buruk yang dialami oleh wuku-wuku tertentu dalam perjalanan satu tahun. Hari-hari buruk itu disebut dengan istilah taliwangke dan samparwangke (wangke artinya bangkai). Menurut kepercayaan Jawa, pada hari itu mereka yang kebetulan wukunya terkena taliwangke atau samparwangke, sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang berisiko, seperti perjalanan jauh, atau membuat keputusan penting yang menyangkut kehidupannya.
Believe it or not, pada tanggal-tanggal yang menurut perhitungan Darmodipuro merupakan hari buruk itu selalu ada peristiwa yang tidak terduga. Termasuk beberapa petaka yang menimpa bumi ini, seperti musibah Terowongan Mina tahun 1990 yang menewaskan 1.426 orang, jatuh pada hari taliwangke. Juga meledaknya pesawat Challenger, 28 Januari 1986, dan terbakarnya Keraton Surakarta, 31 Januari 1985. Contoh kiwari yang masih hangat adalah, pada 16 Maret 1997 Pak Harto mengambil sumpah Kabinet Reformasi Pembangunan. Tanggal itu jatuh pada hari taliwangke. Maka yang terjadi kemudian, jalannya pemerintahan amburadul, yang pada akhirnya tumbang dilibas arus reformasi.
Nyaris hilang, padahal universal
Diakui atau tidak, pengetahuan tentang Pawukon serta primbon Jawa ini sebetulnya nyaris terkubur oleh derasnya arus modernisasi di kalangan masyarakat Jawa. Apalagi nilai modernitas yang telanjur diserap kalangan muda sering membuat mereka semakin tercerabut dari akar tradisi leluhur. Hanya lantaran gengsi, semua hal yang berbau tradisional di-emohi karena dianggap ndeso dan klenik. Padahal ketika dihadapkan pada suatu kenyataan hidup yang tidak menenteramkan, diam-diam mereka mencari pegangan psikologis. Bagaimanapun juga orang Jawa yang pada dasarnya berakar pada budaya agraris-mistis, termasuk mereka yang sudah hidup di kota-kota besar, akhirnya berpaling juga mengikuti naluri tradisionalnya.
Terbukti, masih banyak orang yang meyakini primbon dan tetap mempertimbangkan petungan Jawa kalau ingin menentukan tanggal perkawinan, pindah rumah, memulai kegiatan bisnis, atau menjalani ritus, sejak kehamilan sampai kelahiran seorang bayi, atau bahkan dalam memilih nama.
Untunglah masih ada figur seperti KRHT Darmodipuro, lelaki kelahiran Solo, 15 September 1937, seorang dari sangat sedikit pakar Kejawen yang tak lekang dimakan derasnya arus zaman. Kesetiaannya dalam menggeluti produk budaya Kejawen menggugah kesadaran masyarakat Jawa akan keunggulan dan nilai luhur Pawukon. Di samping tugasnya sebagai kepala museum Radyapustaka memungkinkannya mengeksplorasi secara otodidak berbagai sumber kuno tentang kebudayaan Jawa di museum tersebut, kepakarannya mengenai pawukon dan primbon didapatnya dari guru-gurunya para budayawan Jawa yang sudah mendiang seperti R. Tanoyo, KRT Ronggowarsito, dan RNg. Sastrosayono.
Dalam kesehariannya kini, Darmodipuro tidak pernah sepi tamu. Hampir setiap hari, ia kedatangan orang yang ingin menanyakan wuku, atau perhitungan hari baik untuk beragam keperluan. Tingkat sosial mereka mulai dari rakyat jelata, menengah, sampai para petinggi dari Jakarta, baik sipil maupun jenderal militer.
“Menurut saya, Pawukon ini sifatnya lebih universal. Buktinya, yang datang untuk konsultasi soal ini kepada saya banyak pula orang Tionghoa, bahkan bangsa Belanda, Jerman, Amerika, Australia, Inggris, dan lain sebagainya,” ujarnya sambil memperlihatkan satu bundel uraian wuku pesanan seorang petinggi militer dari Jakarta.
Salah seorang kliennya asal Jerman, H. Henning, yang kemudian diketahui punya Wuku Julungwangi mengaku sangat terkesan karena membuktikan sendiri kebenaran uraian yang terdapat dalam wuku-nya, bahwa naas hidupnya dimangsa binatang buas.
“Ia mengaku selama hidupnya memang pernah tiga kali nyaris tewas diterkam hewan buas, yakni sewaktu berada di Mesir, Jawa Barat, dan di negerinya sendiri,” ujar Darmodipuro menirukan klienya.
Nasib Pawukon yang nyaris terpinggirkan ini juga menarik perhatian Drs. Bambang Saptono (31), seniman lukis alumnus Univeristas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, yang merasa terpanggil untuk melestarikan pawukon. “Saya terobsesi untuk memasyarakatkan Pawukon. Kalau horoskop Barat dan shio Cina sampai begitu terkenal ke seluruh dunia, mengapa Pawukon tidak bisa? Padahal produk budaya Jawa ini lebih canggih, spesifik, dan akurat,” aku Bambang yang sejak tahun 1996 lalu mulai mengadakan penelitian, menulis buku, serta mengangkat simbol-simbol Pawukon dengan melukiskannya kembali secara lebih menarik di atas kanvas. Sekarang ini Bambang sudah berhasil “mengkanvaskan” ilustrasi 30 wuku dengan visualisasi yang lebih artistik dan menarik untuk dilihat. Bahkan akhir Oktober 1999 karya lukisan Pawukon ini sudah dipamerkan di Solo selama tiga hari. Dalam upayanya memperkenalkan kepada dunia internasional, menurut rencana Bambang akan menggelar lukisan Pawukon-nya di Prancis tahun ini.
“Saya menyadari mengapa sampai sekarang ini kaum muda dan masyarakat Indonesia lebih tertarik pada horoskop Barat ketimbang Pawukon. Salah satu penyebabnya lantaran jarang dipromosikan dan dimasyarakatkan. Mana ada media massa yang membuat rubrik tentang Pawukon, yang banyak ‘kan rubrik tentang zodiak Barat?”
Padahal menurut Bambang pengetahuan tentang wuku kita masing-masing akan mendatangkan banyak faedah. “Uraian tentang wuku bisa dijadikan sebagai sarana introspeksi diri. Kalau dalam wuku tersebut tertulis sifat-sifat atau kejelekan watak kita, ya, harus diterima sebagai cermin untuk memperbaiki diri," ujar bujangan berkacamata minus ini.
Untuk menentukan wuku, yang diperlukan adalah tanggal kelahiran sesuai tahun Masehi, kemudian dirujuk dalam penanggalan Jawa. Dari penanggalan Jawa itu bisa diketahui termasuk wuku apakah hari kelahiran tersebut. Berangkat dari tanggal tersebut juga bisa dicari hari dan weton-nya untuk menentukan jenis pengapesannya berikut selamatan yang harus dijalani, kalau mau. Untuk mempermudah pencarian wuku tadi bisa dirujuk pada buku Kalender Abadi yang sudah dijual di pasaran. Salah satunya, Kalender 301 Tahun, (Balai Pustaka, 1989), yang disusun oleh Tjokorda Rai Sudharta MA dkk, bisa digunakan dengan sangat mudah.
Tak diketahui penciptanya
Seperti hanya Cap Ji Shio maupun zodiak Barat, Pawukon pun sampai kini belum diketahui persis asal usul berikut penciptanya.
Kenyataan ini diperparah oleh kondisi sumber-sumber tulisan yang menunjang informasi ini sudah amat memprihatinkan. Seperti buku tentang Pawukon terbitan tahun 1850 yang kini tersimpan di Istana Mangkunegaran, sudah amat rapuh. Buku serupa di Sasono Pustoko, Keraton Kasunanan Surakarta, yang dibuat pada masa Paku Buwono X (1893-1939) kondisinya sedikit lebih baik.
“Dari sekian banyak literatur yang saya baca, tak satu pun menjelaskan secara pasti siapa pembuat Pawukon...," aku Bambang Saptono. Namun ia memperkirakan Pawukon ini dibuat sekitar abad VII, pada masa Hindu.
Mitos menceritakan bahwa lahirnya Pawukon diilhami kisah Raja Watugunung, cerita rakyat zaman dulu, yang mengisahkan cinta anak lelaki terhadap ibunya sendiri seperti Oedipus dari Yunani. Nama anak-anak yang lahir dari hubungan terlarang inilah yang menandai nama wuku. Ada pun urutan wuku itu disesuaikan dengan janji Dewa kepada Watugunung untuk mengangkat semua anggota keluarganya ke kayangan. Untuk mendapat jaminan agar semua diangkat ke kayangan, Watugunung memilih menunggui anggota keluarganya dulu satu persatu diangkat ke kayangan, sementara dirinya sendiri memilih yang paling akhir. Itulah sebabnya Wuku Watugunung berada di urutan terakhir.
Lebih lanjut Bambang memberi latar belakang, minimnya sumber tulisan tentang Pawukon ini memang dimungkinkan karena dalam budaya Jawa kuno tradisi tulis kurang dikenal, sehingga menyulitkan pelacakannya.
Sementara itu Darmodipuro memperkirakan penggunaan Pawukon dalam praktik bernegara dan kehidupan sehari-hari sudah dimulai pada zaman Sultan Agung (1613-1645). Gelapnya informasi tentang pencipta Pawukon ini sangat mungkin lantaran sifat para pujangga Jawa zaman dulu yang memegang prinsip rendah hati.
“Sifat orang Jawa ‘kan tidak mau menonjolkan diri pribadi. Itulah sebabnya banyak karya sastra Jawa yang tidak ketahuan siapa pembuatnya. Sebagai contohnya, karya-karya KRT Ronggowarsito tidak ada yang jelas-jelas menuliskan namanya. Kalaupun ada biasanya dibuat sandiasmo (nama rahasia). Itu pun diselipkan secara tersamar ke dalam karya tulisnya sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa membacanya. Saya rasa itu juga yang terjadi dengan karya Pawukon ini,” jelasnya.
Telaah yang agak berbeda diberikan oleh Drs. Manu Djojoatmodjo, pakar Jawa kuno yang juga dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selain sulit dilacak, versi Pawukon juga beragam sesuai dengan perbedaan tradisi di mana keyakinan Pawukon itu dianut oleh masyarakat. Meski pola bakunya sama, bisa jadi Pawukon yang ada di Keraton Surakarta berbeda dengan yang terdapat di Pakualaman, Yogyakarta.
"Kita sulit melacak penciptanya karena Pawukon itu merupakan wujud kristalisasi persepsi budaya masyarakat Jawa tentang waktu yang meliputi hari, weton, watak maunusia, serta pranata mangsa yang selama ratusan tahun menjadi pedoman hidup kesehariannya." Apalagi, masih menurut Manu, dalam perjalanan waktu terjadi inkulturasi budaya Hindu, yang pada akhirnya juga mempengaruhi persepsi dan praktik budaya Jawa, termasuk dalam hal Pawukon. Itulah sebabnya dalam setiap wuku selalu ada dewa pelindungnya.
Betapapun Pawukon adalah salah satu kekayaan budaya Indonesia. Membiarkannya punah sama halnya dengan melupakan sejarah bangsa sendiri. Oleh karena itu menjadi tugas kita semua untuk melestarikannya.
Percaya atau tidak, perhitungan hari saat dilakukan pemilihan presiden keempat RI pada Rabu Pon, 20 Oktober 1999, menyisakan firasat buruk bagi bangsa Indonesia. Itu menurut penglihatan dan perhitungan mata hati pakar Pawukon, KRHT Suhadi Darmodipuro, yang juga kepala Museum Radyapustaka, Surakarta. Seperti diketahui pemilihan presiden RI dilakukan siang hari.
“Dalam perhitungan Jawa, Rabu malam itu sudah termasuk Kamis Wage, hari yang baik. Wataknya aras kembang, tunggak semi. Dengan watak aras kembang, artinya siapa pun yang terpilih akan memperoleh simpati dari banyak orang. Demikian pula tunggak semi, meski selalu mendapat kritik atau dilecehkan, tetap akan bertunas dan dengan ketokohannya akan membuahkan hasil baik bagi negara dan bangsa," demikian ujar Darmodipuro.
Kenyataannya, pemilihan dilakukan pada Rabu siang sebelum pukul 18.00 WIB. Hari itu jatuh pada Wuku Watugunung. Dalam hitungan Jawa, memiliki watak lakuning rembulan, bumi kapetak. Meski watak yang pertama itu baik, watak yang kedua yakni bumi kapetak justru mengubur semua kebaikannya. “Jadi siapa saja yang terpilih menjadi presiden, kendati memiliki niat dan usaha keras untuk membangun serta menyejahterakan bangsa ini, akan kesilep atau tidak dihargai, karena selalu mendapat celaan," tambah Darmodipuro.
Lewat Pawukon perjalanan nasib seseorang juga bisa dibaca dengan jelas. Contohnya, nasib mantan Presiden Soeharto yang dilahirkan Rabu Kliwon, 8 Juni 1921. Sesuai hari kelahirannya wuku Pak Harto adalah Maktal. Gambaran wuku tersebut terjemahan bebasnya begini: Dewanya Bathara Sakri, setia dalam janji, teguh pendiriannya. Lambang kayunya Negari, tampan wajahnya, bicaranya selalu harum. Burungnya ayam hutan, wataknya cerdik. Gedungnya megah dan berumbul-umbul, artinya pangkat dan kekayaan datang secara bersamaan. Gambaran dirinya bak harimau lapar, kalem tapi waspada, perasaannya gampang kecewa. Naas dirinya karena berkelahi/perseteruan.
Watak hari kelahirannya yang Rabu Kliwon adalah Lakuning Srengenge, Lebu katiyup angin. Tamsil itu menggambarkan hidupnya yang semula ibarat matahari sebagai pemimpin yang menjadi panutan banyak orang, namun pada akhir nasibnya justru seperti debu yang tertiup angin. Meski pada akhirnya kebenaran semua itu tergantung pada kehendak Yang Maha Kuasa.
Lebih komplet dan akurat
Pawukon adalah ilmu tentang wuku yang bersifat baku berdasarkan buku babon yang ada. Tak berbeda dengan metoda hitungan astrologi pada umumnya, wuku ini membagi hari kelahiran seseorang berdasarkan tanggal dan tahun kelahiran. Hanya saja pawukon mendasarkan perhitungannya menurut kalender Jawa. Wuku dalam bahasa Jawa kuno artinya pekan atau seminggu. 1 wuku artinya 7 hari.
Karya Pawukon bisa disejajarkan dengan zodiak Barat maupun Cina yang sudah dikenal luas. Cap Ji Shio terbagi atas 12 macam shio dengan pergantian tiap tahun. Satu periode shio diawali dari tahun pertama yaitu Tahun Tikus yang kemudian berakhir pada tahun keduabelas yakni Tahun Babi. Sedangkan horoskop Barat terbagi atas 12 bintang, pergantiannya tiap bulan, diawali dengan bintang Capricornus dan diakhiri oleh Sagitarius.
Sementara itu Pawukon terbagi atas 30 macam wuku yang pergantiannya berlaku setiap minggu. Perhitungannya mulai dari hari Minggu sampai dengan Sabtu. Satu periode Pawukon diawali pada minggu pertama setiap tahun dengan Wuku Shinta, yang kemudian diakhiri pada minggu ketigapuluh dengan Wuku Watugunung. Urutan dari ke-30 wuku tersebut adalah; Shinta, Landhep, Wukir, Kurantil, Tala, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasia, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Mrakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, Watugunung.
Setiap wuku memayungi kelahiran (manusia) dalam waktu satu pekan atau tujuh hari. Perhitungan harinya pun disesuaikan dengan pasaran (pon, wage, kliwon, legi, pahing).
Dibandingkan dengan horoskop versi lain, Pawukon memiliki kelebihan. Selain memberi gambaran secara umum untuk mengetahui kondisi fisik, karakter, atau watak seseorang, setiap wuku juga mampu menemukan jenis naas (pengapesan) atau pantangan yang harus dihindari serta proyeksi “nasib” seseorang di masa datang.
Misalnya seseorang yang memiliki Wuku Kurantil pantangannya adalah penekan, yakni kegiatan yang sifatnya panjat-memanjat. Sedangkan mereka yang berwuku Gumbreg naasnya karena air, Keblabag ing Banyu. Sesuai usia wuku, masa berlaku pantangan ini pun hanya seminggu. Artinya, selama waktu itu orang yang bersangkutan sebaiknya menghindari hal-hal yang menjadi pantangannya.
Apakah pengapesan ini bisa menjadi kenyataan? Seorang Bung Karno yang berwuku Wayang ternyata pengapesannya Sebab Kena ing Paeka (cinidra), yakni dikhianati atau diperdaya. Lintasan sejarah hidup Proklamator ini secara jelas telah memberikan jawabannya.
Penggambaran keadaan fisik, karakter, serta sifat-sifat orang dalam setiap wuku disajikan lewat simbol seperti dewa, manuk (burung), gedung, panji-panji, pohon atau kayu. Sementara naas atau pengapesan seseorang selalu disertakan dalam perlambang sambekala. Namun tidak seperti icon sederhana yang menandai masing-masing zodiak Barat atau shio Cina, ketigapuluh wuku dalam Pawukon digambarkan secara filosofis dengan ilustrasi menarik, artistik, dan mendetil sesuai ulasan yang terdapat di setiap wukunya.
Darmodipuro yakin tingkat akurasi Pawukon dalam membaca watak dan mengungkap nasib bisa mencapai 70% mendekati kebenaran.
“Sebagian besar klien yang datang ke sini mengaku apa yang tersurat dalam wukunya banyak yang cocok.” Ada juga satu dua orang mengatakan uraian dalam wukunya itu tidak sesuai. Meskipun begitu, menurut Darmodipuro, reaksi penolakan spontan itu terkesan lebih sebagai perwujudan mekanisme self-defence yang ada dalam diri setiap manusia, ketika sifat-sifat buruknya terungkap.
Masih berkaitan dengan Pawukon, Darmodipuro mengatakan bahwa dalam setiap bulan hampir selalu ada yang disebut hari buruk yang dialami oleh wuku-wuku tertentu dalam perjalanan satu tahun. Hari-hari buruk itu disebut dengan istilah taliwangke dan samparwangke (wangke artinya bangkai). Menurut kepercayaan Jawa, pada hari itu mereka yang kebetulan wukunya terkena taliwangke atau samparwangke, sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang berisiko, seperti perjalanan jauh, atau membuat keputusan penting yang menyangkut kehidupannya.
Believe it or not, pada tanggal-tanggal yang menurut perhitungan Darmodipuro merupakan hari buruk itu selalu ada peristiwa yang tidak terduga. Termasuk beberapa petaka yang menimpa bumi ini, seperti musibah Terowongan Mina tahun 1990 yang menewaskan 1.426 orang, jatuh pada hari taliwangke. Juga meledaknya pesawat Challenger, 28 Januari 1986, dan terbakarnya Keraton Surakarta, 31 Januari 1985. Contoh kiwari yang masih hangat adalah, pada 16 Maret 1997 Pak Harto mengambil sumpah Kabinet Reformasi Pembangunan. Tanggal itu jatuh pada hari taliwangke. Maka yang terjadi kemudian, jalannya pemerintahan amburadul, yang pada akhirnya tumbang dilibas arus reformasi.
Nyaris hilang, padahal universal
Diakui atau tidak, pengetahuan tentang Pawukon serta primbon Jawa ini sebetulnya nyaris terkubur oleh derasnya arus modernisasi di kalangan masyarakat Jawa. Apalagi nilai modernitas yang telanjur diserap kalangan muda sering membuat mereka semakin tercerabut dari akar tradisi leluhur. Hanya lantaran gengsi, semua hal yang berbau tradisional di-emohi karena dianggap ndeso dan klenik. Padahal ketika dihadapkan pada suatu kenyataan hidup yang tidak menenteramkan, diam-diam mereka mencari pegangan psikologis. Bagaimanapun juga orang Jawa yang pada dasarnya berakar pada budaya agraris-mistis, termasuk mereka yang sudah hidup di kota-kota besar, akhirnya berpaling juga mengikuti naluri tradisionalnya.
Terbukti, masih banyak orang yang meyakini primbon dan tetap mempertimbangkan petungan Jawa kalau ingin menentukan tanggal perkawinan, pindah rumah, memulai kegiatan bisnis, atau menjalani ritus, sejak kehamilan sampai kelahiran seorang bayi, atau bahkan dalam memilih nama.
Untunglah masih ada figur seperti KRHT Darmodipuro, lelaki kelahiran Solo, 15 September 1937, seorang dari sangat sedikit pakar Kejawen yang tak lekang dimakan derasnya arus zaman. Kesetiaannya dalam menggeluti produk budaya Kejawen menggugah kesadaran masyarakat Jawa akan keunggulan dan nilai luhur Pawukon. Di samping tugasnya sebagai kepala museum Radyapustaka memungkinkannya mengeksplorasi secara otodidak berbagai sumber kuno tentang kebudayaan Jawa di museum tersebut, kepakarannya mengenai pawukon dan primbon didapatnya dari guru-gurunya para budayawan Jawa yang sudah mendiang seperti R. Tanoyo, KRT Ronggowarsito, dan RNg. Sastrosayono.
Dalam kesehariannya kini, Darmodipuro tidak pernah sepi tamu. Hampir setiap hari, ia kedatangan orang yang ingin menanyakan wuku, atau perhitungan hari baik untuk beragam keperluan. Tingkat sosial mereka mulai dari rakyat jelata, menengah, sampai para petinggi dari Jakarta, baik sipil maupun jenderal militer.
“Menurut saya, Pawukon ini sifatnya lebih universal. Buktinya, yang datang untuk konsultasi soal ini kepada saya banyak pula orang Tionghoa, bahkan bangsa Belanda, Jerman, Amerika, Australia, Inggris, dan lain sebagainya,” ujarnya sambil memperlihatkan satu bundel uraian wuku pesanan seorang petinggi militer dari Jakarta.
Salah seorang kliennya asal Jerman, H. Henning, yang kemudian diketahui punya Wuku Julungwangi mengaku sangat terkesan karena membuktikan sendiri kebenaran uraian yang terdapat dalam wuku-nya, bahwa naas hidupnya dimangsa binatang buas.
“Ia mengaku selama hidupnya memang pernah tiga kali nyaris tewas diterkam hewan buas, yakni sewaktu berada di Mesir, Jawa Barat, dan di negerinya sendiri,” ujar Darmodipuro menirukan klienya.
Nasib Pawukon yang nyaris terpinggirkan ini juga menarik perhatian Drs. Bambang Saptono (31), seniman lukis alumnus Univeristas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, yang merasa terpanggil untuk melestarikan pawukon. “Saya terobsesi untuk memasyarakatkan Pawukon. Kalau horoskop Barat dan shio Cina sampai begitu terkenal ke seluruh dunia, mengapa Pawukon tidak bisa? Padahal produk budaya Jawa ini lebih canggih, spesifik, dan akurat,” aku Bambang yang sejak tahun 1996 lalu mulai mengadakan penelitian, menulis buku, serta mengangkat simbol-simbol Pawukon dengan melukiskannya kembali secara lebih menarik di atas kanvas. Sekarang ini Bambang sudah berhasil “mengkanvaskan” ilustrasi 30 wuku dengan visualisasi yang lebih artistik dan menarik untuk dilihat. Bahkan akhir Oktober 1999 karya lukisan Pawukon ini sudah dipamerkan di Solo selama tiga hari. Dalam upayanya memperkenalkan kepada dunia internasional, menurut rencana Bambang akan menggelar lukisan Pawukon-nya di Prancis tahun ini.
“Saya menyadari mengapa sampai sekarang ini kaum muda dan masyarakat Indonesia lebih tertarik pada horoskop Barat ketimbang Pawukon. Salah satu penyebabnya lantaran jarang dipromosikan dan dimasyarakatkan. Mana ada media massa yang membuat rubrik tentang Pawukon, yang banyak ‘kan rubrik tentang zodiak Barat?”
Padahal menurut Bambang pengetahuan tentang wuku kita masing-masing akan mendatangkan banyak faedah. “Uraian tentang wuku bisa dijadikan sebagai sarana introspeksi diri. Kalau dalam wuku tersebut tertulis sifat-sifat atau kejelekan watak kita, ya, harus diterima sebagai cermin untuk memperbaiki diri," ujar bujangan berkacamata minus ini.
Untuk menentukan wuku, yang diperlukan adalah tanggal kelahiran sesuai tahun Masehi, kemudian dirujuk dalam penanggalan Jawa. Dari penanggalan Jawa itu bisa diketahui termasuk wuku apakah hari kelahiran tersebut. Berangkat dari tanggal tersebut juga bisa dicari hari dan weton-nya untuk menentukan jenis pengapesannya berikut selamatan yang harus dijalani, kalau mau. Untuk mempermudah pencarian wuku tadi bisa dirujuk pada buku Kalender Abadi yang sudah dijual di pasaran. Salah satunya, Kalender 301 Tahun, (Balai Pustaka, 1989), yang disusun oleh Tjokorda Rai Sudharta MA dkk, bisa digunakan dengan sangat mudah.
Tak diketahui penciptanya
Seperti hanya Cap Ji Shio maupun zodiak Barat, Pawukon pun sampai kini belum diketahui persis asal usul berikut penciptanya.
Kenyataan ini diperparah oleh kondisi sumber-sumber tulisan yang menunjang informasi ini sudah amat memprihatinkan. Seperti buku tentang Pawukon terbitan tahun 1850 yang kini tersimpan di Istana Mangkunegaran, sudah amat rapuh. Buku serupa di Sasono Pustoko, Keraton Kasunanan Surakarta, yang dibuat pada masa Paku Buwono X (1893-1939) kondisinya sedikit lebih baik.
“Dari sekian banyak literatur yang saya baca, tak satu pun menjelaskan secara pasti siapa pembuat Pawukon...," aku Bambang Saptono. Namun ia memperkirakan Pawukon ini dibuat sekitar abad VII, pada masa Hindu.
Mitos menceritakan bahwa lahirnya Pawukon diilhami kisah Raja Watugunung, cerita rakyat zaman dulu, yang mengisahkan cinta anak lelaki terhadap ibunya sendiri seperti Oedipus dari Yunani. Nama anak-anak yang lahir dari hubungan terlarang inilah yang menandai nama wuku. Ada pun urutan wuku itu disesuaikan dengan janji Dewa kepada Watugunung untuk mengangkat semua anggota keluarganya ke kayangan. Untuk mendapat jaminan agar semua diangkat ke kayangan, Watugunung memilih menunggui anggota keluarganya dulu satu persatu diangkat ke kayangan, sementara dirinya sendiri memilih yang paling akhir. Itulah sebabnya Wuku Watugunung berada di urutan terakhir.
Lebih lanjut Bambang memberi latar belakang, minimnya sumber tulisan tentang Pawukon ini memang dimungkinkan karena dalam budaya Jawa kuno tradisi tulis kurang dikenal, sehingga menyulitkan pelacakannya.
Sementara itu Darmodipuro memperkirakan penggunaan Pawukon dalam praktik bernegara dan kehidupan sehari-hari sudah dimulai pada zaman Sultan Agung (1613-1645). Gelapnya informasi tentang pencipta Pawukon ini sangat mungkin lantaran sifat para pujangga Jawa zaman dulu yang memegang prinsip rendah hati.
“Sifat orang Jawa ‘kan tidak mau menonjolkan diri pribadi. Itulah sebabnya banyak karya sastra Jawa yang tidak ketahuan siapa pembuatnya. Sebagai contohnya, karya-karya KRT Ronggowarsito tidak ada yang jelas-jelas menuliskan namanya. Kalaupun ada biasanya dibuat sandiasmo (nama rahasia). Itu pun diselipkan secara tersamar ke dalam karya tulisnya sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa membacanya. Saya rasa itu juga yang terjadi dengan karya Pawukon ini,” jelasnya.
Telaah yang agak berbeda diberikan oleh Drs. Manu Djojoatmodjo, pakar Jawa kuno yang juga dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selain sulit dilacak, versi Pawukon juga beragam sesuai dengan perbedaan tradisi di mana keyakinan Pawukon itu dianut oleh masyarakat. Meski pola bakunya sama, bisa jadi Pawukon yang ada di Keraton Surakarta berbeda dengan yang terdapat di Pakualaman, Yogyakarta.
"Kita sulit melacak penciptanya karena Pawukon itu merupakan wujud kristalisasi persepsi budaya masyarakat Jawa tentang waktu yang meliputi hari, weton, watak maunusia, serta pranata mangsa yang selama ratusan tahun menjadi pedoman hidup kesehariannya." Apalagi, masih menurut Manu, dalam perjalanan waktu terjadi inkulturasi budaya Hindu, yang pada akhirnya juga mempengaruhi persepsi dan praktik budaya Jawa, termasuk dalam hal Pawukon. Itulah sebabnya dalam setiap wuku selalu ada dewa pelindungnya.
Betapapun Pawukon adalah salah satu kekayaan budaya Indonesia. Membiarkannya punah sama halnya dengan melupakan sejarah bangsa sendiri. Oleh karena itu menjadi tugas kita semua untuk melestarikannya.
Komentar
Posting Komentar