Cinta Pasti Memiliki

"Jika Anda mencintai hingga terluka, tak akan ada yang terciderai.
Yang Anda temui adalah makin tulusnya cinta."
-- Bunda Teresa

SEBUAH pesan singkat masuk di telepon seluler. Isinya: `Finally,
sir. Kami resmi berpisah. Plonk rasanya.' Si pengirim pesan singkat
itu, Irma, bekerja sebagai General Manager disatu kantor konsultan
di Jakarta. Irma, seorang perempuan yang hampir empat tahun menanti
proses perceraiannya usai. Namun entahlah apa yang terjadi sehingga
proses itu berlarut-larut. Hingga akhirnya, keputusan itu pun turun.
Plonk rasanya, begitu katanya.

Mereka akhirnya memutuskan berpisah. Cerai. Alias dengan surat resmi
yang dicatat dalam sebuah akta, mungkin itu kata yang paling tepat.
Pernikahan yang telah dibina selama hampir sepuluh tahun itu tak
bisa dipertahankan lagi. Apa alasan yang membuat Budi dan Irma
sepakat untuk tidak sepakat lagi dalam membina biduk rumah
tangganya?

Budi dan Irma bukannya tidak sadar akan keputusan yang mereka ambil.
Apalagi mereka masih mempunyai seorang putri yang masih lucu dan
imut. Anak semata wayang mereka yang masih berusia lima tahun,
Desya. Mereka sepenuhnya sadar, tanpa paksaan dari pihak mana pun
untuk berpisah. Tekad mereka sudah bulat, tidak lonjong lagi. Cerai
bagi mereka merupakan pilihan terbaik saat itu.

Perbedaan prinsiplah yang menyebabkan mereka akhirnya memutuskan
untuk bercerai. Kesibukan Irma yang luar biasa dalam pekerjaan
ternyata tidak disetujui oleh Budi, suaminya, yang bekerja di
perusahaan kontraktor asing. Sedangkan Irma tetap bersikukuh bahwa
hal itu merupakan haknya dalam meniti karir yang sedang dijalaninya.
Bukankah sekarang zamannya keterbukaan dan emansipasi, begitu pikir
Irma. Bagi Budi, keluarga tetaplah nomor satu bagi seorang ibu. Apa
boleh buat, tak ada kata sepakat di sini. Walau bukan berarti 'no
big deal'. Tak ada yang bisa mengalah satu sama lain. Selesai sudah
ikatan resmi tali cinta mereka. Satu kisah diresmikan di depan
penghulu sebelumnya. Kini, mereka berdua bukan siapa-siapa lagi.

Lantas setelah semua berlalu, apakah kisah berikutnya yang harus
dilakoni dua insan ini? Tentu ada konsekuensi yang harus mereka
jalani. Nah, siapa lagi kalau bukan Desya, putri semata wayang
mereka. Ikatan resmi tali cinta bolehlah selesai. Namun perjalanan
hidup buah kisah kasih mereka tak boleh terhenti di tengah jalan.
Desya tetap membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Ia
juga membutuhkan biaya untuk hidup, dan tentu saja, untuk
pendidikannya. Irma dan Budi sepakat untuk berbagi: di akhir pekan
saatnya Desya menghabiskan waktunya bersama sang ayah, setelah
sepekan penuh tinggal bersama ibunya.

Inilah akibat dari sebuah perpisahan. Namun, Irma dan Budi paham
betul akan konsekuensi perpisahan ini. Walau sudah tak berada dalam
satu ikatan lagi, namun mereka memikul tanggung jawab bersama, yakni
kehidupan Desya. Tapi, benarkah cinta Irma dan Budi terhenti hingga
cukup sekian di sini?

Walau sudah bercerai, namun keduanya masih tetap berkomunikasi
dengan baik. Bahkan kini jauh lebih baik. Hubungan mereka seperti
layaknya kakak dan adik. Budi yang sejak awal mengetahui kepandaian
dan kecerdasan Irma, malah mendorong karir mantan istrinya yang pada
awalnya ditentang. Sebaliknya, Irma pun merasa termotivasi. Pesan
dari Budi begitu menancap di kepalanya.

Rupanya inilah wujud cinta baru di antara mereka. Mereka memang
sudah tidak terikat pernikahan, namun cinta sejati yang semestinya
tumbuh saat mereka berkasih mesra, kini malah muncul. Mereka sadar
dapat lebih saling mencintai ketika mereka tidak berada dalam ikatan
pernikahan.

Selama ini selalu dipersepsikan bahwa mencintai seseorang tak harus
memiliki. Justeru sebaliknya. Cinta pasti memiliki. Memiliki tidak
berarti bahwa Anda harus menikah dengan orang yang Anda cintai.
Memiliki dalam arti suatu pernikahan, itu hanyalah sekedar persoalan
administratif belaka. Dan bila cinta tidak sampai ke pernikahan, tak
berarti cinta itu hilang.

Kalau Anda mencintai seseorang, maka sudah tentu Anda berusaha untuk
memberikan yang terbaik bagi dirinya. Tak ada kata tapi. Tak ada
kata seharusnya begini dan begitu. Utuh tanpa syarat. Makna yang
lebih dalam, bukan hanya materi dan perasaan semata, Anda pun harus
memberikan kepadanya kebebasan. Memberikan kepadanya untuk memilih
pilihan-pilihan yang dikehendakinya. Memberikan kepadanya kesempatan
untuk berkembang sesuai kehendak hati nuraninya.

Atau dengan kata lain, memberikan semua yang terbaik bagi orang yang
dicintainya dan menerima segala kekurangannya. Bila memberi yang
kita miliki, jangan harap kembali, karena bisa jadi hilang untuk
selamanya. Bunda Teresa pernah mengatakan, mencintai secara sejati
adalah mencintai hingga terluka. Sekali memberi diri, cinta harus
tuntas tanpa kembali. Karena setiap kali cinta diberikan, ada
onggokan hati yang ikut tergali dari pemberi cinta.

Mencintai seseorang memang harus sepenuh hati. Tetapi patut diingat,
hal itu tidak musti berlaku sebaliknya. Suatu anugerah bila cinta
yang kita berikan kepada orang lain, terjadi timbal balik dari orang
yang juga dicintai. Tetapi kenyataannya, tidaklah selalu demikian.
Tapi sekali lagi, bukan berarti bahwa cinta itu harus pergi.

Satu contoh cinta sejati yang tak perlu diperdebatkan lagi, adalah
cinta orangtua kepada anaknya. Orangtua manapun, pasti akan
memberikan yang terbaik bagi anaknya. Hal yang tak bisa ditawar-
tawar lagi. Dibalik rasa kekawatiran mereka terhadap sang anak, bagi
orangtua yang bijak, mereka tetap menyerahkan sepenuhnya kebebasan
hidup bagi anaknya. Memberikan kebebasan bagi sang anak untuk
memilih pekerjaan yang cocok, karir yang dijalankan, dan tentu saja
pasangan hidup yang diinginkan. Orangtua tentu tak akan mengekang
keinginan-keinginan tersebut. Mengapa? Karena rasa cintanya yang
besar kepada sang anak. Cinta yang memiliki. Bahkan ketika sang anak
telah berumah tangga.

Cinta, pada akhirnya, memang hanya sebuah kata, tetapi beribu makna.
Orang yang memberikan cintanya secara utuh adalah mereka yang paling
memahami makna tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kota Majapahit di Trowulan

Bahasa Jawa : Sekilas Asal-Usul Bentuk Kromo-Ngoko

Taliwangke dan Samparwangke