Kakawin Nagarakretagama, pupuh VIII-XII, merupakan sumber tertulis yang penting untuk mengetahui gambaran Kota Majapahit sekitar tahun 1350 M. Kota pada masa itu bukanlah kota dalam arti modern, demikian pernyataan Pigeaud (1962), ahli sejarah kebangsaan Belanda, dalam kajiannya terhadap Nagarakretagama karya Prapanca. Ia menyimpulkan, Majapahit bukan kota yang dikelilingi tembok, melainkan sebuah komplek permukiman besar yang meliputi sejumlah komplek yang lebih kecil, di mana satu sama lain dipisahkan oleh lapangan terbuka. Tanah-tanah lapang digunakan untuk kepentingan publik, seperti pasar dan tempat-tempat pertemuan. Tembok batu merah tebal lagi tinggi mengitari keraton. Itulah benteng Keraton Majapahit. Pintu besar di sebelah barat yang disebut "Purawuktra" menghadap ke lapangan luas. Di tengah lapangan itu mengalir parit yang mengelilingi lapangan. Di tepi benteng "Brahmastana”, berderet-deret memanjang dan berbagai-bagai bentuknya. Di situlah tempat tunggu
ILUSTRASI TEMPAT PENGGUNAAN BASA KROMO Sudah lama saya tidak berbicara soal bahasa, karena seperti yang diketahui…para pembacanya terbatas dan mungkin kesannya juga “berat”, tapi saya usahakan seperti dulu, tidak berat dan tidak banyak menggunakan istilah-istilah akademis seperti yang dipakai para pelaku pendidikan tingkat tinggi dan istilah yang ’sok Inggris’ jika masih ada padanan Indonesianya. Semoga bisa dipahami oleh para peminat bahasa yang tidak pengen dibebani dengan istilah yang ‘berat-berat’. Kali ini ada hal yang selalu mengganjal dalam pemikiran saya, kenapa sih bisa muncul pembatasan bahasa antara halus dan kasar dalam bahasa Jawa? Bahasa Jawa yang menjadi bahasa ibu dari hampir separuh penduduk republik ini mempunyai dua dialek besar, yakni dialek sosial dan dialek daerah. Yang ingin saya ulik-ulik adalah dialek sosial atau kemasyarakatannya. Masyarakat Jawa pada dasarnya adalah masyarakat petani dimana terdapat susunan hirarki yang menjadi pedoman bermasyarakat d
Taliwangke itu hari dan pasaran dalam wuku-wuku tertentu yang tidak dimungkinkan dilakukin karena enggak nguntungin jika ngadain jahadan atau keperluan. Hari Taliwangke dan hari Samparwangke jadi pantangan nglakuin kerjaan penting. Apa itu wuku? Wuku ada dalam Pawukon Jawa. Setiap seminggu sekali atau 7 hari, selalu ada nama Wuku yang berjalan. Jumlah wuku 30. Jadi Wuk pertama akan balik lagi setelah 7x 30 hari = 210 hari. Dari tiap wuku itu, ada hari-hari yang dianggap tidak menguntungkan yang disebut hari sangkala (waktu buruk yang jadi pantangan). Waktu ini adalah hari sial, maksudnya ada pengaruh enggak baiknya jika dilanggar. Misalnya beli mobil pas hari Taliwangke atau hari Samparwangke, si mobil itu nantinya bisa bawa bencana seperti kecelakaan dsb. Apa sih Taliwangke ata Samparwangke itu? Taliwangke artinya mengunci mayat (wangke). Wataknya banyak bahaya besar. Pada manusia bisa berarti menjengkelkan, bicaranya menyakitkan hati, bisa membuat banyak rusan dan perkara rumi
Komentar
Posting Komentar