Teosofi Sebagai Quasi Agama

Sebagai salah satu produk kebangkitan New Age, Teosofi memiliki key doctrines yang sangat menarik. Di Indonesia, diam-diam Teosofi sangat diminati, terutama mereka yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Gelombang nasionalisme yang bergelora pada masa menjelang kemerdekaan, tidak dapat dipisahkan dari peran para teosof-teosof yang ada di organisasi semisal Boedi Oetomo dan Jong Java.

Apakah teosofi ini sebuah agama?

Teosofi, tidak bisa dilepaskan dari nama Helena Petrovna Blavatsky (1831-1891). Ialah yang yang dianggap sebagai salah satu peletak dasar-dasar keilmuan dari apa yang sekarang dikenal sebagai Teosofi. Ada tiga risalah terkenal yang ditulis Blavatsky, masing-masing The Secret Doctrine (2 Volume), Isis Unveiled (2 Volume) dan The Key to Theosophy.

Dalam The Key to Theosophy, Blavatsky menjelaskan tentang dasar-dasar dari ajaran Teosofi ini. Teosofi ini bukan agama, tetapi Blavatsky menyebutnya sebagai Divine Knowledge. Makna nyatanya adalah kebijaksanaan Tuhan, Divine Wisdom atau Theosophia juga dikenal sebagai the wisdom of gods atau theogonia. (Blavatsky, The Key to Theosophy, 2006, 1). Doktrin ini diilhami dari para filosof Alexandria yang menekankan yang menekankan pada kecintaan terhadap kebenaran, Philaletheians (Philo-Cinta/Loving, Aletheia-Kebenaran/Truth). Nama teosofi dikembangkan dari nama yang pernah digunakan oleh Ammonius Sacas dan murid-muridnya pada abad 3 dengan nama Eclectic Theosophical System.

Kupasan mengenai doktrin teosofi yang agak komprehensif dilakukan oleh Blavatsky dalam Isis Unveiled dan The Secret Doctrine. Salah satu bahasan yang diulas dalam Isis Unveiled Bab Theories About Reincarnation And Spirits adalah tipe manusia dalam masyarakat Mesir (Isis adalah salah satu Dewa Mesir) dan Neo Platonis. Mereka membagi manusia menjadi tiga bagian yang bagian-bagian tersebut juga terbagi lagi ke dalam beberapa elemen. Pertama, adalah jiwa yang murni abadi. Kedua, hantu yang bercahaya. Ketiga, materi tubuh yang kotor. (Isis Unveiled, Vol.2, 40). Selain yang terakhir, bagian itu juga dikelompokan lagi menjadi enam prinsip masing-masing, (1) Kha, “tubuh vital,” (2) Khaba, “bentuk astral,” atau bayangan, (3) Khou, ” jiwa hewan, “(4) Akh,” kecerdasan darat, “(5) Sa,” jiwa ilahi “(atau Buddhi), dan (6) Sah atau mumi, yang fungsinya dimulai setelah kematian.

Penggalian terhadap ancient wisdom seperti yang dilakukan oleh Blavatsky terhadap tradisi Mesir Kuno (juga China dan India) ia perluas jangkauannya dalam The Secret Doctrine. Buku tersebut sering disebut sebagai kitab para teosof. Didalamnya, Blavatsky mendedah sintesa dari agama, filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejak awal, Blavatsky mengatakan bahwa buku tersebut ditulis dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa proses kejadian alam, tidak sekedar suatu fenomena kebetulan atomik belaka. Selain itu, Blavatsky mencoba mencari tempat yang tepat bagi manusia dalam skema alam semesta ini. Tujuan lain dari penulisan The Secret Doctrine adalah agar manusia tidak terdegradasi dalam kebenaran kuno yang merupakan dasar semua agama, membuka kesatuan fundamental dari semua sumber agama dan terakhir untuk menunjukkan sisi okultisme dari alam semesta yang tidak pernah didekati oleh ilmu pengetahuan modern. (The Secret Doctrine, Vol. I, viii)

Blavatsky menolak pandangan bahwa Tuhan adalah sosok perorangan atau ekstra kosmis dan antrpohomorphis. Yang hanya merupakan suatu bayangan manusia raksasa. Tuhan bagi kaum teosof adalah mutlak, tidak terbatas. Tuhan menyatu dalam keseluruhan gerak kehidupan manusia meski tidak bisa disamakan dengan manusia.

Quasi Agama

Dalam disiplin sosiologi agama, ada beberapa istilah yang kerap digunakan untuk menunjukkan gejala gerakan keagamaan seperti yang tersembul dalam pola-pola seperti halnya Teosofi. Hamilton (1995, 193) menyebut beberapa diantaranya yakni sekte dan kultus.

Ernst Troeltsch, yang mengikuti Max Webber, adalah orang yang cukup serius mengamati perkembangan sekte. Troeltsch melihat karakteristik dan asal usul sekte kaitannya dengan gereja. Sama halnya dengan Webber, Troeltsch pun menganggap kalau sekte berkembang beriringan dengan berkembangnya Gereja.

Secara sosiologis, sekte memiliki kecenderungan untuk keluar dari doktrin mapan keagamaan. dan mereka merupakan organ yang memisahkan diri dari organisasi “keagamaan tradisional”. Sekte menolak klaim gereja untuk mengontrol rahmat Tuhan melalui sakramen-sakramen dan bukan menekankan nilai religius kehidupan sehari-hari dan hubungan pribadi.

Anggota sekte tertentu terkadang ikut menyerang peran gereja dalam membantu negara dan dalam memajukan kepentingan, karena mereka melihat itu semua adalah praktek dari suatu kelas yang dominan. Mereka cenderung menyerang apa yang mereka lihat sebagai ketidakadilan. Troeltsch melihat sekte sebagian besar adalah gerakan protes.

Sementara apa yang disebut kultus, tentu saja memiliki beberapa perbedaan dengan sekte, meski juga sama-sama memiliki corak sebagai deviant. Kultus sepenuhnya adalah gerakan-gerakan baru yang tidak perpecahan dari organisasi keagamaan awalnya. Jadi kultus itu tradisi agama lama dengan kemasan baru.

Dalam perkembangannya, ada tiga proses gerakan kultus. Pertama, psychopathology. Model ini menggambarkan bahwa mental illness dapat membebaskan individu dari pemahaman konvensional dan dapat memungkinkan banyak kreativitas. Kedua entrepreneurial. Kultus model ini tidak jauh berbeda seperti halnya bisnis. Kultus ini diciptakan oleh individu yang memiliki ketajaman membaca hasrat beragama kebanyakan orang. Ketiga, subculture-evolution. Hamilton, mengutip Stark dan Bainbridge juga menyebut model ini sebagai kultus keberagamaan atau religious cults.

Namun, hemat saya Teosofi, bukanlah kultus ataupun sekte. Blavatsky sendiri mengakui bahwa Teosofi tidak serta merta diidentikan dengan filsafat atau spiritualisme. Bahwa ada sintesa antara filsafat, agama dan ilmu pengetahuan, tetapi Teosofi sendiri bukanlah kategori tersebut. Yang menarik dari Teosofi, hemat saya adalah pelampauannya terhadap batas-batas iman. Mereka merupakan gerakan para-agama dalam dunia yang begitu kuat cengkeraman individualistiknya. Spiritual ini seperti sebuah semangat baru (baca: new age) yang menjadi anti tesis dari sekularisasi.

Thomas Luckmann (1967: 113) menyebut fenomena ini sebagai invisible religion. Saya sendiri lebih nyaman memakai istilah Quasi Religion untuk memahami fenomena Teosofi tersebut. Sebagai ”quasi agama”, Teosofi menawarkan tema-tema otonomi individual, ekspresi diri, etos mobilitas, filsafat alam serta sejumlah topik lain. Ada klaim terhadap beberapa status “sakral” dalam budaya modern seperti halnya memahami “fenomena gaib alam raya” dari aspek pengetahuan modern yang hal itu tidak secara eksplisit ada dalam tradisi keagamaan tertentu.

sumber : elsaonline.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kota Majapahit di Trowulan

Bahasa Jawa : Sekilas Asal-Usul Bentuk Kromo-Ngoko

Taliwangke dan Samparwangke